Saat Bahagia Datang
Cerpen Karya : Aris Margono
Hawa dingin di musim
kemarau membuat orang-orang menjadi malas untuk beranjak dari balik selimutnya.
Namun, tidak begitu bagi Pak Budi. Sudah sekitar satu jam yang lalu, sebelum
azan subuh berkumandang, ia sudah duduk serius membaca tulisan demi tulisan
pada lembar-lembar kertas yang ada di hadapannya. Belakangan ini ia memang
sedang giat belajar. Seperti halnya di pagi yang dingin itu.
“Bu, bangun! kata Pak Budi sambil
tangannya menyentuh lengan istrinya yang terlihat masih tidur pulas di samping
kedua anaknya.
“Sudah subuh Mas?” tanya Bu Indri seraya
bangun dari tidurnya. Rambutnya yang tampak acak disisirnya dengan jemari
tangan dan bergegas menuju kamar mandi.
Tidak
lama kemudian mereka sudah terlihat menunaikan shalat subuh berjamaah. Setelah
mengucapkan kalimat salam, Bu Indri mencium tangan suaminya dengan penuh
hormat.
“Mas, nanti berangkatnya lebih awal saja,
agar bisa istirahat dulu di sana!” ucapnya kemudian.
“Rencana Mas juga begitu Bu,” jawab Pak
Budi.
“Ini kesempatanku yang terakhir mengikuti
ujian seleksi CPNS, tiga bulan lagi usiaku genap 35 tahun,” lanjutnya.
“Mas, bagaimana kalau nanti sebelum
berangkat kita menemui ibumu untuk meminta doa restu agar Mas lulus ujian dan diterima
jadi PNS.”
“Iya Bu, Mas ingin sekali melihat ibu
bangga dan kamu serta anak-anak lebih bahagia lagi,” ucapanya penuh harapan.
Ditatapnya wajah istrinya itu dengan kasih
yang begitu dalam.
Sepuluh
tahun tahun hidup bergantung dari jerih payah suaminya sebagai guru honorer
dengan kondisi keuangan yang serba pas-pasan tidak membuat Bu Indri menyesali
keadaan. Bahkan ia dan Pak Budi selalu bersyukur atas rizki dan nikmat yang
telah mereka terima selama ini. Dengan jeli diaturnya uang pemberian suaminya
agar cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun hanya pas-pasan
tetapi ia selalu berusaha menyisahkan sedikit untuk ditabung.
Matahari
sudah condong ke arah barat. Namun, teriknya masih cukup terasa. Pak Budi baru
tiba di rumah.
“Mas,
motornya langsung dimasukan saja, Mas kan capek,” sambut istrinya. Dimintanya
tas yang ada di tangan suaminya lalu dibawahnya masuk.
“Mas, bekalnya kok tidak dimakan?” tanya Bu
Indri ketika tahu bekal yang tadi pagi ia siapkan untuk makan siang suaminya
masih utuh.
“Iya Bu, tadi ketemu teman lama waktu
kuliah, Ia mengajak Mas makan di warung.”
“Anak-anak ke mana Bu?” tanya Pak Budi
sambil melepas jaket yang dipakainya.
“Di rumah belakang sama Neneknya.”
“Makan dulu Mas!” kata Bu Indri sambil meletakkan
segelas air putih untuk suaminya.
“Nanti saja Bu, masih kenyang.”
Setelah berbincang-bincang cukup lama,
sepertinya Bu Indri ingin mengungkapkan maksud hatinya yang selama ini
terpendam.
“Mas, saya mau bicara,” ucap Bu Indri
serius.
“Lho, dari tadi kan sudah bicara,” jawab Pak
Budi setengah bercanda.
“Mau bicara apa?” lanjutnya.
“Mas, saya ingin punya usaha kecil-kecilan
di rumah,. Bagaimana kalau uang tabungan kita buat beli kulkas. Nanti saya bisa
membuat es lilin dan manisan buah untuk dijual,” ucapnya memberi penjelasan.
“Apa uangnya sudah cukup?”
“Sepertinya sudah Mas, lagi pula saya
dengar dari ibu-ibu tetangga waktu arisan kemarin, katanya harga barang-barang
elektronik sekarang sedang turun, bagaimana Mas?” tanya Bu Indri menggebu.
“Begini istriku kalau
sudah ada maunya,” kata Pak Budi dalam hati.
Ia terlihat tersenyum sendiri.
“Kok malah senyum-senyum
sih Mas?” ucap Bu Indri dengan raut muka tidak suka.
“Tidak, Mas tersenyum
karena senang. Kamu memang istri yang cantik, pintar nabung lagi. Iya Mas
setuju,” jawab Pak Budi yang langsung disambut cubitan mesra oleh istrinya.
Sekarang Bu Indri punya kesibukan baru. Selain mengurus
kedua anaknya, ia sibuk membuat es lilin dan manisan buah. Tetangga kanan-kiri
setiap hari selalu saja ada yang datang untuk membeli. Ia juga menyetorkan ke
beberapa warung yang sudah belangganan. Pak Budi juga tidak mau ketinggalan,
setiap pagi ia membawa es lilin dan manisan buah buatan istrinya ke sekolah dan
alhamdulilah selalu habis karena rasanya enak sehingga disukai anak-anak. Satu
kebahagiaan tersediri yang mereka rasakan. Usaha yang dilakukan mendatangkan
rizki bagi keluarga kecil mereka.
Hari yang dinanti-nanti oleh para
peserta ujian seleksi CPNS telah tiba. Halaman kantor Dinas Pendidikan Kabupaten
penuh sesak dengan orang-orang yang ingin melihat pengumuman. Dengan hati
berdebar-debar Pak Budi mamandangi nama demi nama yang terpampang di papan
pengumuman.
“Ini kesempatan terakhirku,
kalau sekarang tidak diterima berarti sudah habis harapanku untuk jadi PNS,”
ucapnya dalam hati diantara himpitan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Tiba-tiba tatapan matanya terhenti pada sebuah nama, Budi Santoso, S.Pd. Waktu
serasa berhenti, jiwanya seperti lepas dari raga, badannya terasa ringan, dan kakinya
seperti tidak menginjak tanah. Setengah tak percaya ditempelkan telunjuknya
pada namanya itu.
“Ya
Allah terima kasih, Kau telah mengabulkan doa kami,” ucapnya dalam hati.
Disapukan kedua telapak tangannya ke muka seiring rasa syukur yang tiada
terkira sambil berucap Alhamdulillah hirobil’alamin.
0 comments:
Post a Comment