Mimpi Pemuda Desa
Cerpen Karya : Aris Margono
Musim panen tahun ini
cukup membuat wajah para petani menyunggingkan senyum penuh kebahagiaan. Rasa
panas dan letih bekerja di bawah terik matahari tidak mampu melunturkan senyum
di bibir mereka. Wajah-wajah berkeringat tampak sumringah disela kesibukan
membawa pulang butiran padi yang kuning penuh isi.
Hari belum terlalu sore, udara masih terasa
agak panas. Sesekali angin bertiup kencang membawa apa saja yang dapat diterbangkan.
“Gus, bangun! katanya mau membantu ayahmu
membawa pulang padi dari sawah,” kata Ibu Sri sambil mengetuk pintu kamar anak
bungsu kesayangan dan kebanggaannya itu.
“Ya Bu, sebentar,” jawab Agus sambil
matanya masih tetap terpejam. Sepertinya seluruh anggota tubuhnya masih ingin
istirahat lebih lama lagi. Maklum, baru tadi pagi sekitar pukul sepuluh ia
pulang dari Jogja.
Tidak
lama berselang, tampak Agus sudah mengayuh sepeda di atas jalan beraspal yang
melintasi depan rumahnya. Sesekali ia terlihat bertegur sapa dengan orang-orang
kampung yang berpapasan dengannya atau kadang bertegur sapa dengan orang-orang
yang sedang sibuk mengangkat jemuran gabah di sepanjang jalan yang ia lewati.
Sudah menjadi pemandangan yang biasa di kampungnya, bila setiap musim panen
tiba sebagian badan jalan dimanfaatkan oleh warga kampung untuk menjemur gabah.
Pikiran kritisnya sebagai mahasiswa muncul, “Ini tidak benar, ini kan jalan
raya, jelas mengganggu pemakai jalan, dan tentunya juga melanggar peraturan.”
Rumah
Agus malam itu kelihatan sepi. Tetangga kanan-kiri yang biasanya ikut asyik
menonton acara televisi di rumahnya tak ada satu pun yang tampak. Teman-temannya
yang biasanya menyempatkan diri datang ke rumah saat mereka tahu ia pulang dari
Jogja, malam itu juga tidak ada yang muncul. Mungkin tubuh mereka terlalu capek
setelah seharian bekerja di sawah, sehingga lebih memilih untuk istirahat di
rumah.
“Bu, Agus ada problem nih…” ucap Agus
seperti mahasiswa yang hendak berkonsultasi dengan dosen pembimbingnya.
“Masalah uang lagi,” jawab ibunya ketus.
“Bukankah uang semesteranmu sudah
diberikan bulan kemarin,” lanjutnya.
Ibu Sri wanita paruh baya bertubuh mungil
yang sebagian rambutnya sudah memutih itu memang terkenal jeli untuk urusan
uang.
“Bukan
itu Bu, tapi masalah usulan saya dan teman-teman karang taruna yang sebulan
lalu itu lho, sepertinya kok belum ada tindak lanjut.”
“Memang tidak mudah untuk mewujudkan hal
itu, butuh waktu, biaya, tenaga, pemikiran, dan dukungan serta kerja keras dari
berbagai pihak. Ya, mudah-mudahan saja dapat terwujud,” ucap pak Salam dengan santai
dan bijak.
Rupanya ia yang sedari tadi terlihat asyik
menonton acara televisi kesukaannya ikut juga menyimak pembicaraan anak dan istrinya
itu.
Agus
yang dipercaya sebagai ketua karang taruna, sebulan yang lalu bersama
teman-temannya serta didukung oleh warga masyarakat mengajukan usulan kepada
pemerintah desa melalui BPD (Badan Perwakilan Desa). Usulan itu berisi tentang
gagasannya agar warga kampung secara swadaya membendung sungai yang melintasi
persawahan di kampungnya. Bedungan tersebut diberi pintu air yang dihubungkan
ke saluran irigasi. Dengan demikian, air yang mengalir di irigasi bisa
dikontrol melalui pintu air tersebut. Jika, irigasi kekurangan air, bisa
dialiri dengan air sungai. Sebaliknya, jika irigasi kelebihan air, bisa dibuang
ke sungai. Dengan begitu, para petani bisa panen setahun tiga kali. Tidak
seperti sekarang, setahun hanya bisa panen sekali karena sawah mereka sawah
tadah hujan.
Kenyataan
yang ada berkenaan dengan saluran irigasi yang melintasi kampung di mana Agus
tinggal memang cukup memprihatinkan. Sejak ia masih kecil hingga sekarang sudah
menjadi mahasiswa, saluran irigrasi itu sama sekali tidak membawa kemanfaatan
bagi para petani di kampungnya. Sering kali justru menyengsarakan mereka.
Bagaimana tidak, di saat musim penghujan tiba, tanaman mereka sudah cukup air,
malah ditambah dengan air yang datang melalui saluran irigrasi tersebut.
Giliran musim kemarau, ketika tanaman mereka membutuhkan air, tak ada sedikit
pun air yang sampai ke kampungnya. Hal itulah yang akan Agus dan teman-temannya
perjuangkan. Demi kemakmuran kampungnya.
Malam
semakin larut, udara bertambah dingin. Kedua orang tua Agus sudah beberapa saat
yang lalu pergi tidur. Sinema Asia yang menampilkan aktor idolanya baru saja usai.
Ia segera mematikan televisi dan bergegas menuju kamar tidurnya. Cerita seru
penuh adegan laga dari aktor idolanya tidak lagi menarik untuk diingatnya.
Pikirannya sudah penuh dengan bayangan-bayangan indah apabila gagasannya yang
sekarang sedang diperjuangkan bersama teman-teman dan warga kampung menjadi
kenyataan.
Tiga tahun telah berlalu.
Agus sudah lulus dari kuliahnya dan diwisuda menjadi sarjana teknik. Namun,
usulan Agus masih juga belum terealisasi. Kecintaan Agus pada kampung halaman
membuat Agus tidak ingin bekerja di kota. Ia memilih tinggal di desa, turut
memajukan desa dengan menjadi ketua karang taruna sampai dua periode. Pada saat
pemerintah kabupaten menggelar pilkades, Agus mencalonkan diri sebagai kepala
desa bersaing dengan calon-calon yang lainnya. Visi dan misi yang Agus sampaikan
pada warga desa dan program kerja yang ia paparkan mampu membuat warga desa
menaruh harapan pada kepimimpinan Agus. Meskipun Agus merupakan calon kades
yang paling muda, namun dedikasi dan kiprahnya untuk kemajuan desa melalui
organisasi karang taruna yang selama ini dipimpinnya sudah dapat dirasakan
manfaatnya oleh warga desa. Agus terpilih menjadi kepala desa dengan bersih
tanpa wuwuran atau money politik.
Bersamaan dengan
terpilihnya Agus menjadi kepala desa, pemerintahan Persiden Jokowi menepati
janji kampanyenya mengenai percepatan pembangunan ekonomi dan
infrasrtuktur dengan menggelontorkan
dana desa yang dikenal dengan jargon
satu desa satu milyar. Berkat dana tersebut, mimpi dan harapan Agus agar para
petani di desanya bisa panen setahun tiga kali dapat terwujud. Mimpi pemuda
desa yang peduli dan cinta pada desanya kini telah menjadi kenyataan.
0 comments:
Post a Comment